Ketika masih menjabat sebagai anggota kongres di Amerika, James A. Garfield ikut menyumbangkan bukti teorema phytagoras. James selanjutnya menjadi presiden Amerika ke-20 pada 4 Maret 1881. James juga dikenal sering menghibur temannya dengan menulis menggunakan dua tangan.
Satu tangan menulis Latin, satu lagi menulis Yunani. Bukti yang ditemukan James dimuat di halaman 161 New-England Journal of Education pada 1 April 1876. Jabatan presidennya tidak lama. James meninggal karena infeksi setelah ditembak di punggung pada 2 Juli 1881. Alexander Graham Bell membuat alat untuk mendeteksi keberadaan peluru dan menemukannya berada di tulang belakang James. Penulis baru saja menemukan video bagus membahas sebuah pertanyaan matematika yang viral di Cina. Sebuah kapal mengangkut 26 domba dan 10 kambing.
Berapakah umur kapten kapal? Ternyata, pertanyaan ini memiliki dua tujuan. Pertama, untuk menguji kemampuan deduktif siswa. Kedua, untuk menguji tingkat pemahaman terhadap soal. Tujuan pertama digambarkan dari jawaban yang muncul di Weeibo, forum internet di Cina. Berdasarkan berat rata-rata standar domba dan kambing, total berat 26 domba dan 10 goat adalah 7.700 kg.
Di Cina, untuk bisa mengangkut kapal dengan berat kargo lebih dari 5.000, diwajibkan sudah memiliki izin mengemudi kapal selama 5 tahun. Umur minimal untuk izin mengemudi kapal adalah 23 tahun, sehingga umur si kapten minimal 28 tahun. Untuk tujuan deduktif, diharapkan soal bisa dijawab layaknya Sherlock Holmes yang bisa menelusuri jawaban berdasarkan data-data yang sudah ada sebelumnya.
Tugas Matematika Teknik, Matrik Eigen Pelajaran matematika merupakan salah satu pelajaran yang dipelajari secara luas di seluruh dunia, selain pelajaran bahasa dan sains. Karena setiap aplikasinya amat membantu manusia dalam kehidupannya. Secara garis besar, pelajaran ini meliputi kemampuan berhitung, berlogika, dan menganalisis.
Soal ini ditujukan untuk memperoleh respon kritis siswa. Untuk tujuan kedua, diketahui bahwa pertanyaan sejenis sudah dimunculkan peneliti di Prancis pada 1979. Para peneliti menanyakan ini pada siswa tingkat dua dan mengharapkan jawaban “Informasi dalam soal tidak cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut” yang menunjukkan pemahaman mereka terhadap pertanyaan tersebut. Ternyata, 3/4 responden menjawab 36 tahun, hasil dari 26 + 10. Hanya sedikit siswa yang mempertanyakan validitas soal ini. Penyelesaian soal-soal program linear cukup panjang.
Langkah yang harus dilakukan di antaranya:. Memahami cerita di dalam soal. Membuat pemodelan persamaan/pertidaksamaan. Menggambar model matematika lalu menentukan area yang dikehendaki soal. Menjawab soal.
Langkah nomor 3 bisa dipermudah dengan bantuan aplikasi online. Artikel ini akan menunjukkan caranya. Soal Seorang penjahit mempunyai persediaan kain putih 10 m dan kain berwarna 15 m. Ia ingin membuat pakaian model I dan model II. Untuk model pakaian I memerlukan 1 m kain putih dan 3 m kain berwarna, sedangkan model pakaian I memerlukan 2 m kain putih dan 1 m kain berwarna.
Apabila pakaian model I harganya Rp75.000,00 dan pakaian model II harganya Rp60.000,00, keuntungan maksimum yang diperoleh penjahit bila semua pakaian yang dibuat terjual habis adalah. Rp300.000,00 B. Rp375.000,00 C. Rp480.000,00 D. Rp750.000,00 E. Rp900.000,00 Sumber: Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2008/2009, Matematika (E-4.2), Kelompok Pariwisata, Seni, dan Kerajinana, Teknologi Kerumahtanggaan, Pekerjaan Sosial, dan Administrasi Perkantoran, SMK/SMEA.
Jawab Posted on.
28 Juni kemarin adalah kali pertama mengunjungi kabupaten atau tepatnya kota Cilacap. Ada tugas dadakan untuk mengisi diklat di SMA Negeri 3 Cilacap selama kurang lebih 3 jam dari pukul 13 sampai pukul 16 di jadwal yang diberikan.
Kegiatan ini cukup dadakan dan dipersiapkan singkat banget. Untungnya materi yang dibawakan adalah Pengenalan STEM yang alhamdulillah materinya sudah ada yang pernah dipresentasikan juga.
Tinggal mempersiapkan aktivitas yang akan dilakukan guru-guru nanti saja. Soalnya guru kali jenjang SMA dan belum sekalipun membahas materi ini di SMA. Nah awalnya kemarin itu akan berangkat seorang diri. Ternyata Pak Direktur tidak mengijinkan saya berangkat sendiri. Pertimbangannya tentu karena saya perempuan sendirian dan perjalanan ini cukup jauh.
Alhamdulillah bisa berkolaborasi dengan teman pengajar yang lain untuk mengisi materi kemarin. Materi yang kami bawakan kemarin bisa dibilang baru untuk guru-guru yang mengikuti IHT kemarin di SMA 3 Cilacap. STEM yang merupakan singkatan Science, Technology, Engineerng, and Mathematics adalah suatu pembelajaran yang mengintegrasikan keempat mata pelajaran tersebut dalam satu aktivitas pembelajaran. Di luar sana STEM sudah sangat populer bahkan sudah menjadi kurikulum di beberapa negara.
Di Indonesia sendiri bisa dibilang pembelajaran ini masih merupakan sesuatu yang baru untuk sebagian besar guru. Saya dan teman-teman pernah menginterview beberapa guru terkait pengetahuan mereka tentang STEM.
Hampir sebagian besar guru belum mengenal STEM dan belum pernah mengimplementasikan STEM. Untuk itulah STEM memang amat sangat perlu diperkenalkan kepada guru-guru agar pembelajarn mereka menjadi jauh lebih kreatif dan bermakna. DI kurikulum Indonesia sendiri, sedang dicanangkan untuk memasukkan STEM dalam pembelajaran di kelas. Sebenarnya sih, sadar atau tidak sadar beberapa guru sudah melaksanakan pembelajaran STEM. Mengintegrasikan pembelajaran Sains dan matematika misalnya, atau memasukkan konteks teknologi dan rekayasa dalam pembelajaran mereka di kelas. Nah guru yang sekreatif ini mungkin tidak banyak jumlahnya, sehingga dirasa perlu untuk mulai mengenalkan dan membuka wawasan para guru-guru khususnya yang terkait dengan empat mata pelajaran ini untuk mengenal STEM lebih jauh.
Pembehasan tentang STEM lebih jauh mungkin akan kita bahas nanti di lain postingan ya. Kali ini mau cerita apa yang berlangsung di Cilacap kemarin. Biar ada memori saja tentang apa yang sudah dilakukan (kegiatan serupa tahun lalu tdak jadi dishare, hanya berakhir di kolom draft wkwkwk.) Ini lah salah satu hal yang dilakukan dalam kegiatan IHT di SMA 3 Cilacap kemarin. STEM menjadi salah satu materi yang dipilih untuk diperkenalkan kepada guru. Nah, kantor saya sebagai salah satu organisasi yang focus on teacher quality improvement akhirnya diberi amanah untuk mebawakan topik ini. Saya dan seorang teman akademik ditunjuk untuk mengisi di sana. Kami menuju Cilacap dengan kereta pagi pukul 7.10 melalui Stasiun Tugu Jogja.
Tiba di sana tepat pukul 1 siang kami mulai memperkenalkan apa STEM kepada guru-guru. ALhamdulillah mereka terlihat nampak antusias untuk mengenal hal baru ini. Yang menariknya, peserta ini bukan hanya guru matematika dan IPA saja. Malah sebagian besar guru adalah guru mata pelajaran lainnya.
Kebayang ga tuh bingungnya mereka. Apa iya STEM harus mereka terapkan juga di mapel mereka, bagaimana caranya? Ada guru yang sempat melontarkan pertanyaan ini. Diskusi menjadi cukup menarik juga dengan adanya guru-guru mapel lain ini. Tentu tidak gampang untuk memahamkan mereka bahwa tentu saja STEM ini tidak untuk mereka terapkan di mapel mereka, mengingat STEM terkait empat mata pelajaran yang menyusun nama STEM sendiri. Tetapi konteks science, technology, engineering atau mathematics tetap bisa menjadi konteks yang diangkat dalam mata pelajaran lainnya misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Geografi atau yang lainnya. Memang dalam hal ini hanya mengangkat konteks saja, dan bukan berarti dalam mapel lainnya itu, siswa harus belajar sainsnya, matematikanya, engineeringnya atau matematikanya.
Beberapa guru memang masih tampak bingung dengan hal ini. Poin penting lainnya adalah pembelajaran STEM tentu terkait dengan kolaborasi, dan juga dapat guru lakukan mengkolaborasikan mata pelajaran mereka dengan lainnya selain yang ada pada STEM. Diskusi berlangsung sangat seru kemarin. Yup memang perlu nih membahas STEM saja ya di lain kesempatan. Biar gambarannya jauh lebih jelas (semogahihi) Kegiatan kami akhiri dengan memberikan contoh aktivitas yang terkait dengan STEM. Guru dibagi dalam beberapa kelompok yang terdiri dari lima orang.
Aktivitas yang diberikan kepada guru adalah Bungee Jumping. Nah di sini guru mengeksplorasi bagaimana tali pada bungee jumping digunakan sehingga kegiatan ini tetap aman untuk pemainnya. Di awal guru mengeksplorasi dengan menyusun simpul karet yang disusun secara seri yang digunakan sebagai tali bungee jumpingnya. Guru melakukan eksperimen untuk menentukan berapa panjang renggangan karet yang ketika objek (paper clip sebagai orang yang melakukan bungee jumping) dijatuhkan. Guru memulai dari 2 karet dan kelipatannya.
Di akhir mereka diminta untuk memprediksi berapa kita-kira tinggi tebing ketika digunakan 20 karet gelang. Jumlah karet yang diberikan di awal hanya 15 buah sehingga mereka harus memprediksi berdasarkan aktivitas sebelumnya dengan jumlah karet yang tersedia. Di sini juga guru memperoleh bahwa perbandingan antara banyaknya karet dan panjang/tinggi karet ketika benda dijatuhkan membentuk grafik garis lurus pada koordinat kartesius. Setelah memprediksi guru kemudian melanjutkan dengan mengukur secara langsung prediksi mereka tadi. Tidak semua kelompok mau melanjutkan pengukuran terakhir ini.
Mungkin sudah capek juga kali ya. Tapi boleh dibilang kegiatan ini sukses membuat mereka lebih memahami kegiatan seperti apa yang dapat bermakna untuk siswa. Guru yang tidak berasal dari mata pelajaran sains atau matematika juga tampak senang mengikuti aktivitas ini/ Alhamdulillah. Kegiatan akhirnya harus molor hingga 16.30. Exhausted but interesting. Capek-capek bahagia namanya.
Semoga apa yang diberikan kemarin semakin memotivasi guru-guru matematika, sains dan guru lainnya untuk terus membuat inovasi dalam kegiatan pembelajarannya dan mau terus belajar untuk mengenal hal-hal baru terkait pembelajaran. Guru harus mampu merubah mindset mereka untuk selalu mengembangkan diri. Guru juga tidak boleh berhenti belajar karena dunia juga menuntut mereka untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang semakin luar biasa ke depannya. Saya juga belajar banyak dari guru-guru kemarin.
Semangatnya luar biasa, walaupun ada juga yang seperti masih membentengi diri ketika menghadapi sesatu yang baru. Masih betah di zona nyaman.
Semua harus belajar, saya pun juga. Harus berani menerima dan menghadapi perubahan.
Semoga kegiatan selanjutnya juga sama menyenangkannya dengan yang kemarin. Can’t wait to join in the next activity. Semangat terus untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
Akhirnya pulang dengan membawa capek tetapi bahagia sekaligus. See you di tempat-tempat menyenangkan dan dengan orang-orang luar biasa selanjutnya.
Mathematics classroom is still bored and not interesting for many students. The success in mathematics classroom is determined by good collaboration among teacher and students. Good collaboration is more likely to be realized by creating a good classroom environment and implementing the suitable norms in specifically mathematical aspects, called sociomathematical norms. For over two decades, the research has been focused on the specific role of norms in students’ mathematical learning opportunities. This research has covered the investigating how norms negotiated among students and teacher and the power of norms in specific areas of mathematics. Sociomathematical norms refer to the practices of participation and contribution of students as well as teacher in mathematics lesson. Sociomathematical norms are the normative aspects of mathematical discussion that are specific to the students’ mathematical activities.
Stated that sociomatematical norms combine mathematics, people and society. The implementation of these norms should be adopted in the mathematics classroom. In this paper, the reasons why sociomathematicals norms are really important to adopt will be discussed. In several countries many teachers do not concern about sociomathematical norms because sociomathematical norms have not been accepted as a part of classroom culture where a more traditional methodology is applied. Teachers do not really understand how to implement the sociomathematical norms in their classes. Teachers have little basis to anticipate other creative solutions from students. However, sociomathematical norms will help to revise the way teachers teach mathematics in class where they are used to use a more traditional methodology to teach mathematics.
In implementing sociomathematical norms, teachers tend to be equal members of the mathematics class. Teacher is the center of learning discussion where students are hoped to have more contributions in discussion activities. In addition, teacher is a representative of the mathematics community in the class. This is because the teacher handles the discussion in mathematics classes and also is responsible for the development of mathematical classroom and students’ activities.
During the mathematics activities, teacher helps students in improving their abilities how to deliver their knowledge to solve mathematical problems. Sociomathematical norms help students in developing their explanation and justification skill in learning process.
Explanation and justification are related to the construction of individual aspects as well as social aspect. The sociomathematical norms make students focus on mathematical thinking rather than thinking about mathematics. They are not only expected to give answers but also they can explain their strategies to get the answer. Sociomathematical norms support high-level cognitive activity. In this case, teachers can give some interesting, well-discussed and problem-solving-based mathematical problems which can encourage students to give solutions, compare theirs to the other students’ solutions and even judge the similarities and differences leading to create high-level cognitive activity.
Acceptable mathematical explanations and justifications also deal with the actual process of making a contribution and facilitating communication. Sociomathematical norms focus on developing the interaction among students and teachers. This is because while doing mathematics, teacher and students adhere to similar rules and norms which help them to achieve learning goals. In conclusion, by implementing these norms, mathematical class is no longer a boring class to students. They will enjoy their mathematics when they can improve their mathematical skill by giving more contribution in classroom.
Teacher plays an important role to develop the mathematical quality of classroom environment, to establish norms for mathematical aspects of students and also to make students more confident in participating in mathematical activity. Eventually, there will be more benefits to the successful of mathematical activities and students’ mathematical achievements. Ummy Salmah References McClain, K., & Cobb, P. An analysis of development of sociomathematical norms in one first-grade classroom.
Journal for Research in Mathematics Education, 32(3), 236. Tatsis, K., & Koleza, E. Social and socio‐mathematical norms in collaborative problem‐solving. European Journal of Teacher Education, 31(1), 89-100. Doi: 10.10 Van Zoest, L., Stockero, S., & Taylor, C. The durability of professional and sociomathematical norms intentionally fostered in an early pedagogy course.
Journal of Mathematics Teacher Education, 15(4), 293-315. Doi: 10.1007/s10857-011-9183-y Wedege, T. Sociomathematics: A subject field and a research field. Yackel, E., & Cobb, P. Sociomathematical Norms, Argumentation, and Autonomy in Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education, 27(4), 458-477.
Doi: 10.2307/749877. Learning is the process of people explore and develop their way of thinking and also behaviour. Learning new things is also important for people. They need some things that support them to explore and support their process of learning. The process of building a new knowledge needs skills, belief, concept, and also prior knowledge that can help them to familiarize with their environment. Some people said that in learning a new topic or a new concept teacher has an important role to help students build their undertanding about this topic. However, prior knowledge also as important as teacher’s role in helping students deal with new topic.
In this paper, I would like to consider the concept of student’s prior knowledge and the important of assessing student’s prior knowledge before studying. Learning process is the process which personal ideas or meaning is constructed and involve students’ prior knowledge and also experiences. In learning process, conceptual learning related to the concept of developmental stages of children’s cognitive development. It was developed by Jean Piaget.
Many books and papers explaining about learning area have been written by him. He has an enormous contribution to educational research.
There are four stages of cognitive development namely sensory-motor (birth to 2 years), preoperational (2 to 7 years), concrete operational (7 to 11 years) and formal operation (11 plus years). In each step, Piaget was successful to describe the way children develop their cognitive domain. Although learners now can reveal different types of thinking in different context, Piaget’s ideas about the stages of cognitive domain of children thinking guide us to know that learners might be able to do some kinds of things that depend on their age rather than their skills. During the late 1980s and 1990s, these views were introduced as the constructivism. Generally, constructivism is a practical idea which considers students as an active learners in the meaningful and essential process of learning and interpretation is important process to facilitate students in constructing their understanding.
In constructivism view the process of creating or inventing knowledge is an active process rather than a passively received process. In addition, to help students construct their individual knowledge, learning process may involved social processes such as discussion, argumentation, justification, and negotiation. Developing and constructing their ideas will not be able to be realized without good interaction with other students, teachers, and also their environment. In this way, teachers have very important and essential role because they can help students to improve their skills and build more powerful constructions as well as to develop their self motivation. In the process of constructing a new knowledge, the successful learning outcomes also comes from the knowledge that learners or students have (;;; ).
They have this existing knowledge either from their experiences or learning environment. Existing knowledge or prior knowledge is not necessarily a product of formal education which means that it comes from the learning process in the classroom. However, it could be come from student’s experiences or individual exploration.
A case in point is some students have information or know something because they have visited some places or because they have experienced a traumatic condition or even their parents work in particular places. Using prior knowledge in introducing and explaining new topic to students is important part of learning process which teacher should be more concerned about. The important of prior knowledge will be described as follows. Firstly, a lot of studies talk about that prior knowledge affects how the students perceive and organize new information (;;;; ). In learning process when teacher start the activity with terms and concepts, every students will have many various interpretations based on their existing knowledge either from their previous studies or experiences. States that prior knowledge can affect interpretation and interpretation is supported by discourse.
As was pointed out in the cognitive development stages of Piaget, the different interpretations may occurs in every stages. Interpretation of new things depends on student’s mental schema. The existing knowledge that students have in their mental schema will help students to intrepret new terms and can build their understanding of the topic discussed. As the result, new information will organize well in their mental schema. Secondly, prior knowledge also affects how easily students make connections for new information. In the process of learning, students will find lot of new information and therefore existing knowledge can help them to hook up with information that they achieve. They can connect every single information, which is of course appropriate, that already exists in their memory to the new information.
The more connections, the easier it is to remember. For instance in studying the concept of fraction, students who have better basic knowledge in proportion, least common multiple, greater common divisor, multiplication, and some other concepts will be easier to undertstand fraction and any operation in fraction.
This is why the meaningful process will come when students can connect their previous knowledge to the new knowledge. Furthermore, in particular subjects, for example mathematics and science, prior knowledge can also help students when they are working with examples. Examples can improve students’ skills in problem solving. Appropriate prior knowledge can assist students to understand and compare some kinds of examples to solve mathematical problems in order to estabilish their critical aspects. In fact, students without existing knowledge will find difficulties in dealing with the tasks given because they must complete some new information before solving the task, whereas the students with appropriate prior kowledge can easily solving the task without overloading their working memory.
In their study of investigating the influence of prior knowledge in using solution methods carry out the effectiveness of comparison in learning equation found that students with lower level of prior knowledge tent to understand examples step by step. By contrast, students with higher level of prior knowledge tend to understand and investigate the number of solving methods.
Solving mathematical problems needs students’ skills in dealing with multiple ways to find the solutions. Therefore, students who bring their existing knowledge into the mathematical problems will easily understand and work with the possible solutions.
As have to be remembered that prior knowledge is not only neccessary for helping students exploring new topic but also it can be problematic as well. This is because, the prior knowledge which students bring into classroom cannot be guaranteed whether it can make learning meaningful or not. For example when students learn about how to measure length of objects using ruler, students consider that the lenght of this object can be representated by looking at the numbers in the ruler. The problem is that when they have to use the broken ruler, which the number is not started from 0, some students still use the same way and look at the number in the ruler. They do not recognize that their concept of lenght is incorrect. Owing to this, teachers as the facilitator in learning activities should guide students with their various prior knowledge by giving some instructions.
The role of teacher is to help students construct their ideas by solving the problem using their existing knowledge and make the classroom as the best place for them to explore new information, negotiate path to find the solutions, reflect on what has happened. Teachers will need to ask questions that challenge inappropriate ideas and generalisasiton, and create new problems that may help students to revise their previous constructions or ways of thinking. As have mentioned above, they are a guide as well as motivator to students. However, this is not an easy task to do because they have to deal with the students’ different condition in the classroom.
![Pada Pada](/uploads/1/2/5/5/125594052/983800213.png)
“The challenge will then be to lead children to come to understand and accept this as a method of their own, rather than simply practising and acquiring by rote another person’s way of doing something”. Therefore, competence teacher needs to be a good guidance for students. Another example of learning activities that show the important of using prior knowledge to help students successful in learning activies as well as teachers in improving their teaching quality is in topic of measuring angles. Teachers can guide students to understand how to measure angles using nonstandard units before using the standard units. They can start using something from students’ daily lives because it can make students more interested in doing the learning activities. Moreover, their prior knowledge also can come from their daily experiences. In teaching measuring angles teachers can use context of pizza (pizza pictures) as the starting point.
Slices of pizza can be used as the nonstandard units to guide and introduce students about how to use standard units for example protractor. An angle measure constructed from a circle of pizza is helpful. Teachers can create some angles shape from pizza for example 90 0, 30 0, 45 0 and other angles and use them as nonstandard units. Students should have prior knowledge about kinds of angles and use it to build their understanding of measuring angles using protrator. By doing some meaningful activities using the context of pizza supported by their existing knowledge about angles, they will have a deep understanding of how to measure an angle using protractor as standard unit. In addition, teacher’s role is very important to facilitate students when they discuss and build their undertanding of this concept. In conclusion, meaningful learning process can be started from constructing students knowledge.
The idea of constructing knowledge that generally known as constructivism is developed based on the Piaget concept of developmental stages of children’s cognitive development. Constructivism looks learning process as the active process of creating knowledge. Constructing a new knowledge can be developed from knowledge which students have and bring to the classroom prior to commencing a new topic.
Prior knowledge or existing knowledge might be coming from student’s experiences or their environment conditions. It enable to help students to accept, organize and connect the new information during the learning process.
In adddition, prior knowledge can help students in comparing examples. However, the role of teacher is still important to guide and facilitate students develop their new knowledge. In the future, teacher should be more concerned about the prior knowledge of students and be more active to guide students in constructing and dealing with the new information. Teacher will be the main facilitator and also motivator for students in learning process. In the development of learning environments, there are some peoneers who have focused on the field of learning environment. Kurt Lewin and Murray are the first people who are concerned about classroom environment.
Their ideas used to work on educational research environment. Admitted that dominant determinants of human behaviour is environment and the interaction with personal charactersitics. It was introduced in the formula B = f ( P,E) which is emphasizes the need for research strategies in which behaviour is considered to be a function of the person and the environment (, ).
Was the first person who followed Lewin’s approach. He introduced a needs-press model which created analogous representation of individual and her or his environment. Motivational personality characteristics describes personal needs.
On the other hand, enviromental press refers to external counterpart which determines the expression of internalized personality needs whether can be encouraged or discouraged. Murray also proposed alpha press and beta press term as approach in educational environment.
The environment as assessed by a detached observer was described by the term of alpha press, whereas the environment as perceived by milieu inhabitants was described by the term of beta press. Stern has revived and explicated the theory of needs-press in his comprehensive book and widely cited articles. Moreover, based on Murray’s work, developed personal-environment congruence theory. In this theory, “complimentary combinations of personal needs and environment press could improve student outcomes”. The other pioneers in the development of learning environment who focused on research which involve assessment of perceptions of classroom environment are Herbert Walberg and Rudolf Moos. It was more than 40 years ago since Walberg evolved earlier versions of the widely used Learning Environment Inventory (LEI) in research.
He was also involved in evaluation activities of Harvard Project Physics. Moos, collaborated with Edison Trickett, developed the first of his social climate scales in which psychiatric hospital and correctional institutions used, which conclusively caused the development of the Classroom Environment Scale (CES). Moos’s scheme for classifying human environments is used as in classification of scales for learning environment instruments. There are three basic dimensions namely Relationship Dimensions, Personal Development Dimensions, and System Maintenance and System Change Dimensions.
Relationship Dimensions identify the nature and tension of personal relationship within the environment and assess people’s contributions to help the other one in their environment, while Personal Development Dimensions assess basic directions where personal growth and self-improvement appear. On the other hand, System Maintenance and System Change Dimensions involve the term how the environment is orderly, clear in expectations, is under control, and is responsive to change. In addition, all the learning environment instruments can be classify at least in one of the Moos’s scheme. Kurikulum 2013 yang baru mulai diterapkan di tahun ini, 2013.
Penerapan memang belum dilaksanakan di semua kelas di setiap jenjang pendidikan. Penerapan Kurikulum 2013 baru dilaksanakan di kelas I dan IV Sekolah Dasar (SD), kelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA). Di tingkat SD, kompetensi pembelajaran dikembangkan melalui pembelajaran tematik integratif yang dilaksanakan dengan pendekatan sains. Pembelajaran tematik meliputi berbagai mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dengan tema sebagai pemersatu. Berikut salah satu contoh penerapan pembelajaran tematik integratif yang diterapkan di kelas IV Sekolah Dasar. Pembelajaran ini dilaksanakan dengan mengintegrasikan pelajaran Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia dengan Tema Selalu Berhemat Energi dan subtema Pemanfaatan Energi.
Pada materi ini siswa mempelajari tentangenergi dan perubahannya serta dikaitkan pula dengan konsep Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK). Video pembelajaran berikut salah satu bentuk pembelajaran yang berlangsung di kelas.
Dewasa ini, matematika masih dianggap sebagai momok bagi siswa. “Matematika itu sulit.” Kata sebagian besar siswa.
Banyaknya rumus dan konsep matematika mungkin menjadi hal yang tidak menarik bagi siswa, yang pada akhirnya membuat matematika lagi-lagi tidak menjadi pelajaran favorit bagi mereka. Bukan hanya itu, penyampaian materi oleh guru masih dianggap terlalu monoton dan bukannya menjadikan matematika menarik bagi siswa tetapi menjadi membosankan.
Padahal jika ditilik dari fungsi matematika, pelajaran ini bukan tidak ada gunanya sama sekali. Matematika sangat memegang peranan penting karena dapat meningkatkan pengetahuan siswa dalam berfikir secara logis, rasional, kritis, cermat, efektif, dan efisien. Oleh karena itu matematika harus dikuasai sejak dini oleh para siswa. Banyak metode dan cara-cara kreatif untuk memperkenalkan matematika kepada siswa. Sekarang ini, bermunculan berbagai macam metode yang berusaha membantu siswa memahami dan menyelesaikan permasalahan matematika.
Bermunculan pula cara-cara praktis dan cara-cara singkat menghafal rumus matematika. Namun ternyata, tidak semua metode dan cara-cara itu mampu menjadikan matematika bermakna bagi siswa. Menghafal rumus hingga mengetahui cara-cara singkat penyelesaian soal matematika tidak menjamin siswa memahami secara mendalam konsep yang diberikan. Padahal yang terpenting sebenarnya adalah makna dari konsep tersebut yang harus tertanam di benak mereka. Bukankah akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan matematika, jika memahami secara mendalam tentang konsepnya terlebih dahulu? Adakah metode yang mampu menghantarkan siswa memahami konsep tersebut? Di negeri Kincir Angin, Belanda, ada sebuah pembelajaran yang dikembangkan sejak tahun 1970 yang dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME).
RME merupakan buah pemikiran penulis, pendidik, dan matematikawan Belanda berkebangsaan Jerman, Hans Freudenthal. Pemikiran menarik dari pendiri Freudenthal Institute ini salah satunya adalah ”mathematics as a human activity, mathematics must be connected to reality, stay close to children’s experience and be relevant to society, in order to be of human value”.
Matematika harus relevan dengan kehidupan sehari-hari dan dekat dengan siswa. Dalam pembelajaran RME, siswa dikenalkan dengan konsep dan abstraksi matematika melalui hal-hal konkret dan diawali dari pengalaman dan lingkungan sekitar siswa ( use of context). Untuk mengantarkan siswa ke bentuk abstrak dari matematika, digunakanlah model berupa benda manipulatif yang tentunya juga harus menarik dan dapat meningkatkna minat siswa ( use of model). Peran siswa dalam pembelajaran pun sangat diperlukan ( student contribution), juga bagaimana mereka mampu berinteraksi dengan siswa lainnya maupun dengan guru ( interactivity).
Selain itu keterkaitan antara konsep dalam matematika juga penting perannya dalam pembelajaran RME ini ( intertwining). Perkembangan RME saat ini sudah cukup luas, tidak hanya di tanah kelahirannya, Belanda. Di Indonesia sendiri, RME sudah mulai ramai diperbincangkan dan diterapkan di beberapa sekolah. Di Indonesia sendiri, RME telah diadopsi dan dikembangkan sesuai dengan karakteristik pembelajaran di Indonesia. RME di Indonesia dikenal dengan Pendididikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini pula beberapa calon dosen yang tergabung dalam International Master Program on Mathematics Education (IMPoME), mendapatkan kesempatan untuk belajar langsung tentang RME di Utrecht University. Apa yang mereka dapatkan di sana, nantinya akan diterapkan dan dikembangkan di Indonesia.
Harapannya adalah, semoga pembelajaran RME mampu merubah image matematika menjadi pelajaran yang menyenangkan. Sumber: Yuwono, Ipung. Pembelajaran Matematika Realistik. Malang: UM Press. Marja van den Heuvel. Mathematics Education in the Netherlands: A guided tour. Utrecht University.
Budaya plagiarism memang sudah menjamur di mana-mana. Khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa, plagiarism bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang memalukan.
Jika ada tugas yang harus diselesaikan, langkah amannya adalah tinggal meng” copy paste” ajah punya teman, atau minimal tinggal caplok apa yang ada di internet. “Ah gampang, tinggal cari di internet ajah, banyak kok, copy-paste ajah” itu kata-kata yang mungkin sering kita dengarkan atau bahkan keluar dari mulut kita sendiri saat menghadapi tugas yang sudah jatuh tempo. Kemudahan akses internet juga banyak membuat terlena kaum pelajar saat ini. Banyaknya informasi yang disuguhkan di dunia maya menjadikan pelajar malas untuk berpikir kreatif dan menuangkan ide-ide mereka yang pastinya tak kalah hebatnya. Plagiarism Nah beberapa bulan yang lalu, saat seorang teman yang baru saja menyelesaikan studinya di Belanda menceritakan pengalamannya tentang betapa orang Belanda sangat menghargai ide-ide kreatif, saya pun tersentak kaget. Plagiarism tidak dihargai di sana.
Semua tugas yang diselesaikan memang hasil pemikiran mereka, bukan contekan. Emang dosennya sebegitu pintarnya untuk melacak, mana tugas mahasiswanya yang hanya nyontek saja, mana yang “ copy-paste”, mana yang ngerjain sendiri? Yah, di samping dosennya memang orang-orang yang qualified, ada satu sistem yang memang mampu untuk melacak mana tugas mahasiswa yang hanya plagiat saja.
Blackboard namanya. Eits, bukan papan tulis seperti yang kalian biasa lihat, tapi sebuah sistem yang sangat membantu perkuliahan para mahasiswa di Belanda.
Tidak bisa dipungkiri memang, mengapa pendidikan di Belanda menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Blackboard digunakan di hampir seluruh universitas di Belanda, mungkin pula di Eropa. Utrecht University, Wageningen University, dan Erasmus University adalah beberapa dari universitas di Belanda yang menggunakan blackboard ini. Blackboard memberikan semua informasi perkuliahan yang dibutuhkan oleh mahasiswa, mulai dari daftar mata kuliah, syllabus, tugas-tugas, informasi tentang dosen, hingga jadwal ujian.
Pengumpulan tugas-tugas pun dilakukan melalui blackboard ini. Tapi satu hal yang menarik dari blackboard adalah adanya plagiarism checker. Sistem ini mampu mengecek tingkat kemiripan tulisan yang telah di submit dengan ratusan paper yang ada dalam database. Berapa persen tingkat kemiripannya, bagian mana yang di” copy paste” serta sumber paper yang dianggap mirip bahkan sama dengan paper yang di submit pun terdeteksi dengan detail. Jika sebuah paper terdeteksi sebagai buah dari plagiarism, harga mati yang sudah pasti akan ditanggung si penulis pun adalah “failed”. Boleh-boleh saja memperkaya tulisan sendiri dengan menggunakan karya orang lain, namun bukan berarti boleh meng” copypaste” begitu saja tulisan orang lain. Kembali berpikir, seandainya sistem ini mampu diterapkan di Indonesia, mungkin budaya plagiarism berangsur-angsur akan terkikis.
Bukankah anak Indonesia banyak yang kreatif dan juga mampu bersaing dengan anak-anak di belahan bumi lain? Kemudahan akseslah yang membuat mereka malas untuk menciptakan sesuatu yang memang hasil dari pemikiran mereka sendiri. Plagiarism tidak lagi dianggap sebagai sebuah kesalahan, namun menjadi sesuatu yang wajar. Sistem blackboard sebenarnya dapat menjadi salah satu solusi pemberantasan plagiarism di Indonesia, khususnya dalam hal plagiarism paper dan tugas-tugas perkuliahan.
Salah satu sistem yang sebenarnya dapat kita contoh dari Belanda, salah satu negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik di dunia. Referensi: Posts navigation.